BERITA KERABAT – Tragedi kemanusiaan berskala besar terus menyelimuti Pulau Sumatra. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan data terkini yang menunjukkan peningkatan signifikan jumlah korban jiwa akibat serangkaian bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi: Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Per Senin (8/12/2025) pukul 16.00 WIB, total korban meninggal dunia telah mencapai 961 jiwa, sementara jumlah warga yang masih dinyatakan hilang tercatat sebanyak 293 orang.
Angka ini menggarisbawahi betapa parahnya dampak bencana yang dipicu oleh curah hujan ekstrem dan kondisi lingkungan yang rentan. Selain korban meninggal dan hilang, BNPB juga mencatat lebih dari 4.200 orang mengalami luka-luka dan harus mendapatkan penanganan intensif di berbagai fasilitas kesehatan darurat maupun rumah sakit.
Operasi SAR Masuki Masa Kritis
Tim gabungan pencarian dan pertolongan (SAR) yang dikoordinasikan oleh Badan SAR Nasional (Basarnas) bersama TNI, Polri, relawan, dan pemerintah daerah, terus berupaya keras di tengah tantangan cuaca yang tidak menentu dan medan yang sulit. Penemuan puluhan jenazah baru dalam 24 jam terakhir, yang berkontribusi pada lonjakan angka kematian, menjadi indikasi bahwa korban hilang sebagian besar mungkin tertimbun material longsor atau hanyut terseret arus banjir bandang.
“Tim di lapangan telah berhasil menemukan 40 jenazah tambahan pada hari ini,” ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Bapak Abdul Muhari, dalam konferensi pers virtual yang diselenggarakan pada Senin sore. “Meskipun demikian, ada sedikit kabar baik, di mana jumlah korban hilang berhasil kami reduksi dari angka sebelumnya menjadi 293 jiwa. Upaya pencarian akan terus dimaksimalkan.”
Sebaran Duka di Tiga Provinsi
Dampak bencana ini menyebar di 52 wilayah kabupaten/kota di ketiga provinsi. Distribusi korban meninggal per provinsi per Senin (8/12/2025) adalah sebagai berikut:
- Aceh: 389 jiwa meninggal dunia
- Sumatra Utara: 338 jiwa meninggal dunia
- Sumatra Barat: 234 jiwa meninggal dunia
Kabupaten Agam di Sumatra Barat menjadi salah satu wilayah dengan jumlah korban meninggal terbanyak, disusul oleh Tapanuli Selatan (Sumatra Utara), Aceh Timur (Aceh), dan Pidie Jaya (Aceh). Fokus pencarian saat ini berpusat pada titik-titik longsor besar yang menimbun pemukiman dan lokasi di sepanjang aliran sungai yang terdampak banjir bandang.
Kerusakan Infrastruktur Mencapai Skala Masif
Tidak hanya menimbulkan korban jiwa, bencana ini juga melumpuhkan kehidupan dan infrastruktur di wilayah terdampak. BNPB mencatat kerugian material yang sangat besar, dengan rincian:
- Rumah Rusak: Lebih dari 157.600 unit, mulai dari rusak ringan hingga hancur total.
- Fasilitas Umum: 1.300 unit rusak.
- Fasilitas Kesehatan: 199 unit rusak.
- Fasilitas Pendidikan: 697 unit rusak, termasuk sekolah dasar hingga perguruan tinggi, memaksa ratusan ribu siswa belajar di tenda darurat.
- Jembatan: 405 unit rusak, yang menyebabkan banyak wilayah terisolasi dan menghambat distribusi bantuan.
Kerusakan masif pada jembatan dan akses jalan menjadi kendala utama dalam penyaluran logistik dan evakuasi korban. Pemerintah dan tim gabungan terus berupaya membuka akses darat, termasuk dengan menggunakan alat berat dan armada helikopter untuk menjangkau lokasi-lokasi terpencil.
Pengungsi Mencapai Jutaan Jiwa
Jumlah pengungsi juga terus membengkak, mencapai lebih dari 1 juta jiwa yang tersebar di berbagai posko pengungsian di tiga provinsi. Kebutuhan mendesak yang diperlukan pengungsi meliputi logistik dasar, air bersih, sanitasi, obat-obatan, dan layanan psikososial, terutama bagi anak-anak dan lansia yang mengalami trauma mendalam.
Pemerintah pusat telah mengoptimalkan distribusi bantuan dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memastikan kebutuhan dasar pengungsi terpenuhi. Presiden, dalam Rapat Terbatas (Ratas) terakhir, telah menginstruksikan percepatan penanganan bencana, termasuk penyelidikan terkait dugaan pembalakan liar yang disinyalir menjadi salah satu faktor kerentanan lingkungan.
Tragedi ini menjadi pengingat pahit akan risiko bencana di Indonesia, menuntut evaluasi total terhadap tata ruang, mitigasi bencana, dan kebijakan lingkungan yang lebih tegas untuk mencegah bencana serupa di masa mendatang.