Perang Thailand-Kamboja Berkobar, Warga Terpaksa Mengungsi

Perang Thailand-Kamboja Berkobar, Warga Terpaksa Mengungsi

BERITA KERABAT – Perang antara Thailand dan Kamboja kembali berkobar sepanjang perbatasan kedua negara, memaksa ratusan ribu warga sipil meninggalkan rumah mereka dan mencari perlindungan di kamp pengungsian. Konflik yang sudah berlangsung sejak awal Desember 2025 ini telah menjadi eskalasi terbaru dari sengketa perbatasan lama yang berakar pada klaim wilayah atas situs-situs bersejarah dan garis demarkasi yang tidak disepakati sejak lama.

Perang Masih Berkobar di Garis Depan

Sejak awal pekan ini, bentrokan bersenjata antara angkatan perang Thailand dan Kamboja meningkat tajam dengan penggunaan artileri, serangan udara, dan roket bermobilitas tinggi yang saling diluncurkan dari kedua sisi perbatasan. Kedua belah pihak saling menuduh satu sama lain sebagai pihak yang memulai agresi. Thailand mengklaim Kamboja menembakkan BM‑21 roket ke kawasan perumahan dan sekolah di provinsi Sisaket, yang menyebabkan korban sipil dan kerusakan infrastruktur. Kamboja pada gilirannya menyatakan bahwa serangan Thailand tidak hanya menargetkan posisi militer tetapi juga wilayah sipil.

Pemerintah Thailand bahkan mempertimbangkan untuk memblokir ekspor bahan bakar ke Kamboja sebagai bagian dari langkah memaksa lawan menyerah dalam konflik yang terus meningkat. Di beberapa daerah di Thailand juga diberlakukan jam malam untuk meminimalkan risiko terhadap penduduk sipil akibat pertempuran.

Dampak Kemanusiaan: Krisis Pengungsian Besar‑besaran

Eskalasi berdarah ini telah menciptakan krisis kemanusiaan yang serius. Menurut data terbaru dari kementerian terkait dan laporan media, lebih dari 800.000 warga di kedua negara telah terpaksa mengungsi dari rumah mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Kamp‑kamp pengungsian di kawasan perbatasan kini dipenuhi oleh keluarga yang kehilangan mata pencaharian, tempat tinggal, dan akses terhadap layanan dasar.

Di Kamboja saja, lebih dari 300.000 orang telah meninggalkan kampung halaman mereka dan berlindung di zona aman yang didirikan pemerintah di provinsi Banteay Meanchey dan sekitarnya. Mereka terpaksa mengantri untuk mendapatkan bantuan dasar termasuk makanan, air bersih, dan perlindungan sementara.

Sementara itu di Thailand, ratusan ribu warga dari provinsi perbatasan seperti Sisaket, Surin, dan Ubon Ratchathani juga menempati kamp pengungsian, setelah evakuasi massal oleh otoritas lokal demi keselamatan mereka. Kamp‑kamp ini kini kebanjiran warga yang membawa sedikit harta benda, padat, dan menghadapi kekurangan kebutuhan dasar serta layanan kesehatan.

Kisah dari Lapangan: Kehidupan di Tengah Konflik

Salah satu cerita menggambarkan kesengsaraan yang dialami warga pengungsi adalah dari Suang Sreang, seorang wanita Kamboja berusia 27 tahun yang sedang hamil sembilan bulan. Ia melarikan diri bersama anak‑anaknya dari daerah perbatasan di Sakeo, Thailand, menuju kamp pengungsian di provinsi Oddar Meanchey. Suang kini menghadapi kemungkinan melahirkan di tengah kondisi yang jauh dari ideal tanpa fasilitas medis memadai, kurang makanan bergizi, serta sanitasi yang buruk.

Kisah Suang adalah salah satu dari ribuan kisah kemanusiaan yang terjadi di kamp pengungsian. Banyak keluarga hidup berdesak‑desakan di tenda‑tenda darurat, dengan anak‑anak yang kekurangan pendidikan karena sekolah‑sekolah ditutup akibat konflik. Akses terhadap layanan medis dasar juga menjadi masalah besar karena tenaga kesehatan dan fasilitas medis yang terbatas.

Korban Jiwa dan Kerusakan Infrastruktur

Meski angka pasti bervariasi antara laporan sumber, puluhan warga sipil dan tentara dari kedua negara sudah tewas akibat pertempuran ini. Thailand melaporkan beberapa warga sipil termasuk seorang pria berusia 63 tahun tewas akibat tembakan roket dalam serangan yang menurut pihak mereka diluncurkan oleh Kamboja. Kedua negara juga melaporkan ratusan tentara yang tewas atau terluka dalam kontak tembak langsung.

Selain korban jiwa, kerusakan infrastruktur juga luas. Rumah‑rumah penduduk, sekolah, fasilitas kesehatan, dan ratusan hektar lahan pertanian telah rusak atau hancur total. Situs warisan budaya seperti kompleks candi bersejarah juga menjadi kekhawatiran khusus karena berada dekat dengan garis pertempuran.

Reaksi Internasional dan Upaya Meredakan Ketegangan

Organisasi kemanusiaan seperti International Committee of the Red Cross (ICRC) telah menyerukan kedua belah pihak untuk menahan diri dan menghormati hukum humaniter internasional, terutama dalam melindungi warga sipil yang tidak terlibat dalam konflik. ICRC menyatakan siap membantu penyaluran bantuan darurat serta mendorong dialog yang dapat mengurangi penderitaan rakyat kedua negara.

Sementara itu, negara‑negara dan organisasi regional seperti ASEAN, serta pihak‑pihak mediating sebelumnya termasuk Amerika Serikat dan Malaysia, terus menekan agar gencatan senjata segera ditegakkan. Namun hingga kini belum ada penghentian permusuhan yang nyata, karena masing‑masing pihak menolak menahan diri tanpa syarat. 

Prospek Perdamaian

Para analis menyatakan bahwa konflik ini tidak hanya sekadar pertempuran lokal, tetapi juga hasil dari ketidakjelasan perbatasan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Tanpa adanya dialog yang serius dan komitmen bersama terhadap solusi damai yang berkelanjutan, potensi eskalasi lebih jauh masih terbuka, dan dampak kemanusiaannya akan terus memburuk.